Chikusa
“Yuk kita ke Chikusa lagi buat sarapan besok,” kata saya ke suami.
“Ngapain? Kan tadi udah ke sana.” jawabnya.
Itulah kebiasaan saya berkaitan dengan makanan. Kalau sudah merasa cocok, kembali lagi dan penasaran mencoba menu lain.

Chikusa Cafe merupakan kedai kopi di Thamel, Kathmandu yang ada sejak tahun 1998. Kedai sederhana yang tampilannya sekilas menipu, jika saya tak teliti membawa tulisan yang menempel pada kaca jendela. Saya pikir tempat itu barber shop. Kami menemukan Chikusa karena bingung sore itu mau ke mana sehabis dari Lalitpur. Masih banyak waktu luang yang bisa kami gunakan daripada sekedar berdiam diri di hostel.
Saya masuk dan memilih meja di dekat pintu keluar. Chikusa Cafe bukan kedai kopi yang luas. Bukan juga kedai kopi dengan peralatan serba modern dan menggunakan mesin kopi mahal. Tempat ini bersahaja. Menjadi peraduan bagi kebanyakan lelaki di sekitar area yang butuh penyengat hari. Memulai pagi dengan kopi atau mempertahankan energi di sore hari dengan segelas kopi hangat.
Menyambangi Chikusa seperti mendapat surga bisa makan yang sehat-sehat. Bertemu menu yoghurt dengan harga murah. Tapi, suami saya masih bisa menikmati sajian sederhana lainnya.
Meski melabeli diri sebagai penyedia real coffee. Saya terpikat dengan menu lain yang mereka sediakan sepanjang hari. Di kunjungan pertama kami tidak pesan kopi. Kurang tidur sejak awal perjalanan menuju Nepal. Saya dan Rudy tak mau ambil resiko membuat badan jadi meriang karena efek terjaga akibat malam harinya. Kami berdua perlu waktu istirahat malam yang cukup.

Varian minuman mulai dari kopi hingga lassi. Kami memesan dua hot black tea dalam mug besar. Di Nepal, minuman ada pilihan porsinya. Ada ukuran cup, mug, small pot, atau big pot. Takut kurang, saya pesan ukuran big pot, karena kebiasan di Indonesia kalau minum teh satu gelas besar. Makan sore cukup dengan roti bakar. Isiannya sederhana mau pakai butter, atau selai, sampai creme cheese hingga tuna. Saya juga pesan curd atau yoghurt banana agar rasa kenyang bertahan lama dan nggak jajan-jajan lagi.
Telur menjadi makanan yang ada di dalam menu. Sajian sederhana bisa direbus, dibuat omelet dengan varian taburan seperti keju, ham, sayur. Atau bisa pilih masala omelet atau japanese omelete.
***
Minuman segera dibuat di bagian bar. Sedangkan pegawai yang lain menuju dapur untuk menyiapkan makanannya. Sore itu tak banyak yang pesan makanan. Beberapa orang datang untuk minum kopi atau black tea sambil bersosialisasi dengan tamu lainnya. Rata-rata yang datang ke sana penduduk lokal yang berjualan di sekitar Chikusa.
Saat pesanan saya datang, terutama menu yoghurt. Isinya sangat banyak. Satu mangkuk penuh yoghurt yang ada toping pisang. Harga semangkuk hanya Rs100 (sekitar Rp 12.000 an saja). Saya pun berusaha menghabiskannya di tengah-tengah sesi makan. Akibat terlalu maruk memesan satu peanut toast. Alhasil, sampai pagi tak ada urusan dengan kelaparan. Padahal pas siang saya tak makan apa-apa.

Kebiasaan Nge-Teh Ke Ngopi di Nepal
Sebenarnya teh lebih melekat dengan Nepal. Terbukti dengan menjamurnya kios-kios teh di Kathmandu. Lalu, kebiasaan mereka minum black tea dan teh susu. Nepal terkenal menjadi negara peminum teh. Meskipun, kopi sudah ditanam di sana selama ratusan tahun. Tetapi, kopi di Nepal baru berkembang di awal 1980-an. Saat kopi mulai ditanam di daerah tertentu.
Varietas robusta ditemukan di Terai. Sedangkan arabika yang dimbangkan sebagai kopi gourment. Kota-kota di Nepal seperti Gulmi, Palpa, Parbat, Syangja, Kaski, Kavre, dan Lalitpur menjadi daerah-daerah pusat kopi di Nepal. Ah… saya hanya tahu tentang Lalitpur.
Lambat laun kopi menjadi teman teh. Meski, tidak menggesernya. Tapi dua minuman ini, sering ditawarkan di berbagai kedai. Tahun 2010 pertumbuhan kedai kopi mulai pesat hingga mencapai 300 gerai.
Cikusa merupakan salah satu kedai kopi sederhana yang lumayan ramai setiap harinya ditengah hiruk pikuk Thamel. Tak cuma saya, beberapa turis asing juga sering menghabiskan waktu atau malah beberapa orang menjadi langganan di Chikusa. Rata-rata mereka berkunjung untuk mencari ketenangan sambil menyeruput hangatnya kopi atau teh yang disajikan.
Saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan curd yang mereka tawarkan. Maklum lah, di Indonesia, jarang-jarang menemukan harga yoghurt terjangkau. Padahal banyak sekali peternakan sapi perah di Indonesia.
Makan yoghurt semangkuk penuh dengan toping pisang saja harganya sangat masuk akal. Dengan porsi melimpah ruah.


